Anwar Thosibo
Masyarakat dan
Kebudayaan Indonesia
KEBUDAYAAN ACEH

DISUSUN :
KELOMPOK 10
SYAHRIL RAMADHAN/ F61114504
RIMA SUHARTINA/ F61114505
MUKHLIS TRI PUSYAKA/ F61114503
JURUSAN ARKEOLOGI
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatan kehadirat Allah SWT,
karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya jugalah sehingga Makalah Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia yang berjudul Kebudayaan Aceh ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Salam dan salawat
kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW yang mengajarkan kita segala
sesuatu yang tidak kita ketahui sebelumnya, serta sahabat-sahabat yang tetap
konsisten dijalan-Nya.
Kami menyadari bahwa kamian Makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rendah diri kami mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada kakak senior yang telah meluangkan waktunya memberi
dorongan dan bimbingan kepada kami sampai selesainya makalah ini. Begitu juga dengan teman-teman
yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga semua yang kita lakukan
bernilai ibadah disisi-Nya Amin.
Makalah ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan, karena kurangnya pengetahuan, referensi dan waktu yang tersedia. Oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan: Nun Waqalami Wamaa
Yasthuruun.
Makassar, Oktober
2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................ ii
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A.
Latar Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.
Tujuan
Penulisan ............................................................................... 2
D.
Manfaat
Penulisan ............................................................................. 3
A.
Sejarah Politik Adu Domba .............................................................. 4
B.
Strategi Politik Adu Domba di
Sulawesi Selatan & Barat ................ 5
C.
Dampak Politik Adu Domba di
Sulawesi Selatan & Barat ............... 6
BAB III Penutup........................................................................................... 13
A.
Kesimpulan......................................................................................... 13
B.
Saran................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................................ 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Aceh yang
sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa
Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah
provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur
tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan
sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di
sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu
kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya,
Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar
penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di
Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang
kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan
kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan
perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti
Snouck Hurgronje.
Dilihat dari
sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam.
Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak
Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan
Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi
antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami
Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini
menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada
di lain wilayah.
Sistem
kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat
Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan
masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari
sistem kekerabatan.
1.2 Tujuan Pembuatan Makalah
Di dalam
penulisan makalah ini ada beberapa tujuan yang kami jabarkan, diantaranya
adalah:
- Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Masyarakat
dan Kebudayaan Indonesia.
- Dari hasil diatas kami ingin mengetahui lebih
dalam lagi tentang Aceh dan budayanya.
- Untuk membantu para mahasiswa memahami kebudayaan
Aceh.
1.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam
mengumpulkan data, kami menggunakan metode pengambilan data secara sekunder,
yaitu pengambilan data secara tidak langsung melalui informasi yang sudah ada
seperti internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Identifikasi Geografi
Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi
paling barat Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan
batas akhir Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara
dan sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk
ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Di tengah-tengahnya
terdapat pengunungan Bukit Barisan yang dikelilingi oleh hutan hujan yang padat
dan puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 in), Bumi Telong (2.566 m),
Ucop Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m), Seulawah Agam
(1.782 m) dan Seulawah Inong (866 m).

Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 km2, yang terdiri atas kawasan
hutan lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 km2 dan ekosistem
Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas
permukaan laut. Adapun batas batas nya yaitu : Sebelah utara dengan Laut
Andaman, sebelah timur dengan Selat Melaka, sebelah selatan dengan Provinsi
Sumatera Utara, sebelah barat dengan Samudra Hindia. Daerah Melingkupi : 119
Pulau, 35 Gunung, 73 Sungai, terdiri dari 21 Kabupaten, 228 Kecamatan, 642
Mukim, 111 Kelurahan, dan 5947 Gampong atau Desa.
Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain
ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang
paling parah dilanda gempa bumi 26 Desember 2004.
B. Bahasa
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di
provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling
banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur
bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur
asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda
Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten
Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga
terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah
Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan
Bakongan.
Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan
Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh.
Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada
juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh
sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat
Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di
Australia. Selain Bahasa Aceh ada juga Bahasa yang lain seperti Bahasa Gayo,
Bahasa Alas, Bahasa Tamiang, Bahasa Aneuk Jamee, Bahasa Kluet, Bahasa Singkil,
Bahasa Haloban, dan Bahasa Simeulue.
C. Sistem Religi

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal
menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan
"Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling
dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun
demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa
unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan
Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak
kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat
sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
D. Sistem Mata Pencaharian
Setiap orang
yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku Aceh, untuk
mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan
beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya
menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang.
Mata
pencaharian pokok suku aceh adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman
pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping
bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan
kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di jual.
Untuk
masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan
dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau
dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan
berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan menjajakan barang
dagangannya dari kampung ke kampung.
E. Organisasi Sosial
1.
Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan,
bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip
keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu
tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan
tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Dalam sistem kekerabatan
tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis
keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap
sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak
wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai
kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak
berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah
keluarga inti yang disebut rumah tangga. Ayah berperan sebagai kepala keluarga
yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang
ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada orang Alas garis
keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan
laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari
jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku
bersifat virilokal, yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki.
Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk
bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).
Pada masyarakat gayo, garis
keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang
berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah
nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan
terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti
disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam
sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang
bergabung ke dalam satu belah (klen).
Dalam sistem kekerabatan
masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan
berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan
adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
2.
Sistem Pelapisan Sosial
Pada masa lalu masyarakat
Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan
masyarakat, yaitu golongan Keluarga Sultan, Golongan Uleebalang, Golongan
Ulama, dan Golongan Rakyat Biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan
bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan
sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan
uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai
daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa masyarakat Tamiang
dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan sosial, yakni ughang
bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja
beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan
untuk perempuan; golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan
kekuasaan tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan
ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.
3. Sistem
Kemasyarakatan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut
gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik.
Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum
meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh
seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan
sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan
agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut
(penasehat adat).
F. Sistem Perkawinan
Pengantin laki-laki (Linto baro) maupun
pengantin perempuan (Dara Baro), keduanya sama-sama menggunakan baju, celana panjang
dan sarung songket. Bahan dasar pakaian pengantin ini dahulu ditenun dengan
benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak yang terbuat dari kain
katun, nilon, planel dan sebagainya. Bagi pengantin laki-laki baju dan celana
berwarna hitam, sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning
dengan celana panjang hitam.

Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros)
adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan
dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas
bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi
dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan
sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan
barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai
perhiasan pakaian harian.
2) Patam Dhoe,
Terbagi atas tiga bagian yang satu sama
lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi
dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif
ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan
kecil dan bunga.
3) Simplah
Simplah merupakan suatu perhiasan dada
untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan
segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan
ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah.
Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah
mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.

4) Peuniti
Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas;
terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan
ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada
bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan
telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang
sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai
perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.
5) Subang Aceh
Subang Aceh memiliki Diameter dengan
ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya
seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian
atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo
Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.

6) Taloe Jeuem
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak
sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan
hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai
terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian
adat laki-laki yang disangkutkan di baju.

G. Sistem Pengetahuan
Suku Aceh
memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh
manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu
dari dukun dan orang tua adat. Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, yaitu
tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang
disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan
Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu
pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi.
Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah
datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca
huruf Jawi.
H. Sistem Tekhnologi dan Peralatan
Hidup
1. Persenjataan
Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh
penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah
paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng).
Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
I. Kesenian
1.
Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah
satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis
di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid
dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat
pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan
sebagainya.
2. Seni Pahat : Memahat
Rumah Adat dan Nisan
Seni pahat
yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni
pahat yang diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status
sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan
menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama
dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.

3. Seni Musik : Rapai
Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik
yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar,
seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing
memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang
dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah
cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan.
Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang
bertindak
4. Seni Tari : Tari
Saman
Tarian ini
merupakan salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan
pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis.
Suatu tari dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.

BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat
Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir
Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan
sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk
ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Selain sebagai nama
daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai
penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi
Naggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami
oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk
Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang
dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi) Setiap suku tersebut
memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik
dan adat istiadat.
Etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau
sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan
Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik
dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas
bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai
kreasi budayanya. Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang
paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan Umara dan
golongan Ulama. Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang
berdasarkan kaidah kaidah hukum agama Islam.
Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan
masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang
menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung).
Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap
perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada
keluarga lainnya.
Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya.