Rabu, 16 Maret 2016

Zaman Paleolitik




Zaman Paleolitik
a.      Manusia
1. Paleolitik Awal/Bawah (Homo erectus arkhaik)  :
    * Megantropus Paleojavanicus (Sangiran) - Sp. Homo Erectus  -/+  2.5 mya
    * Pithecantropus Robustus (Mojokerto) - Sp. Homo Erectus  -/+  2,5 mya
    * Pithecantropus Mojokertensis (Mojokerto) - Sp. Homo Erectus  -/+  mya
2. Paleolitik Tengah (Homo erectus Tipikal)  :
    * Pithecantropus Erectus (Trinil) - Sp. Homo Erectus  -/+ 1.5 mya
c. Paleolitik Akhir/Atas :
    * Homo Soloensis (Ngandong) - Sp. Homo Erectus  -/+ 0.8 mya

b.      Hasil Budaya
1. Kapak perimbas  (chopper) - monofasil                6. Alat serpih  (flakes)
2. Kapak penetak (chopping tools) - bifasial            7. Alat serut samping
3. kapak genggam (Hand axe) – bifasila           8. Alat2 dari tulang (sudip    dan    mata tombak, ada yg bergerigi)
4. Pahat genggam (hand adze)      - monofasil           9. pemukul/batu pelempar
5. K. genggam awal (proto hand axe) – monofasil  10. Alat penusuk dari   tanduk

c.       Kehidupan Sosial Ekonomi
*  Sangat tergantung kepada alam                                    * berkelompok
* food gathering (mengumpul dan meamu)                      * alat-alat sederhana
* nomaden                                                                                    * Belum ada tanda2 kerohanian
* hidup di pingir sungai, danau atau pantai

d.      Teknik Pembuatan Alat Batu Pada Masa Paleolitik
Pada masa Paleolitik, teknik pembuatan alat batu berupa  teknik pukul dan teknik tekan. Teknik pukul terdapat dua macam yaitu langsung  (direct percussion) dan tidak langsung (indirect percussion). \Menurut Crabtree, Oakley, dan Howell, mengungkapkan bahwa teknik pukul langsung dilakukan dengan cara batu atau palu yang terbuat dari tulang atau kayu keras dipukulkan pada permukaan bahan baku yang ingin dibentuk. Pemangkasan dilakukan untuk melepaskan serpihan dari bahan baku. Sedangkan, teknik pukul tidak langsung (indirect percussion) menggunakan semacam pahat yang terbuat  dari kayu atau tulang yang keras. Semacam pahat ini yang nantinya digunakan  untuk dipukulkan ke batu pukul. Lain hal dengan teknik serpih tekan (pressure flaking) yaitu melakukan kegiatan menekan dengan benda runcing seperti tulang  atau tanduk yang keras pada calon alat batu, sehingga diperoleh serpihan kecil.
menurut R.P. Soejono, teknik pembuatan alat batu di Asia  Tenggara dan Timur pada umumnya monofasial yaitu pemangkasan yang  dilakukan pada salah satu permukaan saja. Bahan batuan yang digunakan untuk  membuat perkakas batu adalah dari batuan tufa kersikan, kapur kersikan, kuarsa,  dan beberapa jenis batuan lainnya. Di Indonesia sendiri menurut Poesponegoro,  pada masa Paleolitik dikenal dua teknik perkakas batu yang disebut tradisi kapak  perimbas dan serpih. Kapak perimbas adalah sejenis kapak yang digenggam dan  berbentuk masif. Teknik pembuatannya cenderung masih kasar. Kapak perimbas  sendiri ditemukan di lembah Sungai Fingnoi di dekat Bhan-kao, Pakistan  (Punjab), Pulau Luzon di Filipina, selatan Hanoi di Vietnam Utara, Myanmar  (Lembah Irrawadi), Malaysia (Kota Tampan), Cina (Chou-kou-tien, Lembah  Yangtze, Guangxi), dan Indonesia (Pacitan).

Jumat, 25 Desember 2015

Analisis SWOT pada situ Leang-leang Maros

Syahril Ramadhan
F61114504
Arkeologi dan Pariwisata

Analisis SWOT Pada Perencanaan Pariwisata Pada Situs Leang- Leang Maros
Situs Leang-leang Maros berada Jl. Poros Desa Leang-Leang, Kampung Leang-leang, Desa Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten  Maros, Provinsi, Sulawesi Selatan degan Ketinggian 85 mdpl. Leang-leang Maros merupakan salah satu situs Prasejarah yang ada di kawasan Kars Maros Pangkep. Pada situs Leang- leang Maros terdapat 2 Goa yaitu Leang Pettae dan Leang pettakere.
Leang Pattae, termasuk tipe gua kekar lembaran, dengan langit-langit gua yang sempit dan kurangnya proses travertine yang terjadi di dalam rongga gua. Gua ini menghadap ke arah barat 2700 NE dengan pintunya yang berukuran tinggi 7 meter dan lebar 12 meter. Suhu udara di dalam gua berkisar 30 derajat Celsius dengan kelembaban rata berkisar 70 %, sedangkan kelembaban rata-rata dinding gua berkisar antara 15-25 %. Potensi arkeologi yang dimliki leang ini berupa; lukisan babi rusa 1 ekor dan 3 buah telapak tangan negatif adapun posisi panel terletak di langit-langit bagian tengah Adapun sikap gambar babi rusa sedang meloncat atau miring dan telapak tangan sikap tegak 1 sedang yang 2 lagi miring. Akumulasi temuan yang teramati di situs ini selain lukisan adalah artefak batu (mikrolit) yang menyebar dalam pelataran gua dan buangan sampah dapur berupa kulit-kulit kerang yang terdeposit di sisi pintu gua.
Leang Pettakere, Akumulasi data arkeologi yang ditemukan terdiri atas lukisan dinding gua berupa gambar babi rusa 1 ekor dan gambar cap telapak tangan 22 buah dan telapak tangan hingga siku 6 buah yang kesemuanya menggunakan zat berwarna merah, posisi panel pada langit-langit bagian tengah, dengan sikap gambar tegak 4, miring 8 dan rebah 16 temuan lain berupa alat batu mikrolit termasuk mata panah yang sisinya bergerigi juga ditemukan di situs ini tetapi tidak berada di dalam rongga dan pelataran gua, justru menyebar di bagian lahan di bawah pelataran gua. Pada bagian lahan dimana alat-alat batu ditemukan tersebar pula sampah dapur berupa kulit kerang yang sudah terdeposit. Temuan lain yang tidak kalah menariknya dari situs ini adalah perolehan tengkorak tanpa kerangka ketika BP3 Makassar pada tahun 1978 melaksanakan penggalian tanah untuk membuat pondasi tangga besi menuju pintu gua.
Analisis SWOT kawasan dilakukan untuk menemukenali faktor-faktor kekuatan, kelemahan, dan peluang serta tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kawasan.
A.  Kekuatan (Strength)
1.    Dukungan dari pemerintah melalui eksistensi kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal PHKA, Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, serta perangkat yang ada dibawahnya.
2.    Leang Leang Maros, Situs Bersejarah yang Simpan Lukisan Tertua di Dunia.
3.    Aksesibilitas yang mudah dari kota Makassar, Maros, Bone, dan Bandara Udara Internasional Hasanuddin.
4.    Status lahan dimiliki pemerintah sehingga mudah dalam pengelolaannya.
5.    Pegunungan Karst yang sudah berumur ribuan tahun ini diakui sebagai kawasan karst terbesar kedua di dunia setelah Guangzhou di China.
6.    Potensi alam yang indah
7.    bebatuan karst di Leang-leang Maros ini hanya ditemukan di tiga loasi, juga dapat ditemukan hanya di Guangzhou, China dan di Teluk Halong, Vietnam. 
8.    Goa Leang Leang Maros ini sangat menarik, karena goa ini dulunya sebagai tempat tinggal.

B.  Kelemahan (Weaknessess)
1.    Lemahnya peran serta dan kelembagaan masyrakat, terutama masyarakat sekitar kawasan.
2.    Masih lemahnya dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.    Infrastruktur yang belum begitu mendukung/memadai.
4.    Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang lemah antar berbagai sektor
5.    Kekurangan sumberdaya manusia, dalam menerapkan konservasi dan perlindungan terhadap kawasan.
6.    Kurangnya sarana transportasi umum menuju kawasan Situs Leang- leang Maros.
7.    Sebagian Kawasan ditumbuhi lumut dan tumbuhan liar yang dapat merusak situs.
8.    Guide yang ada belum mengetahaui betul tentang Situs Leang-leang Maros.  

C.  Peluang (Opportunities)
1.    Dukungan lembaga-lembaga kemasyarakatan di tingkat lokal terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
2. Situs leang-leang sudah terkenal sampai kedunia.
3.    Tingginya potensi dan minat wisatawan terhadap kegiatan wisata prasejarah.
4.    Selain sebagai wisata Prasejarah situs leang-leang Maros juga bias di jadikan wisata alam terbuka.
5.    Dekat dengan lokasi pariwisata kawasan taman nasional bantimurung bulusaraung, sehingga wisatawan bias sekali pergi dalam berwisata.

D.  Ancaman (Threats)
1.    Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di sekitar kawasan
2.    Kondisi perekonomian masyarakat yang masih sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam di dalam kawasan.
3.    Kebijakan investsi di dalam kawasan konservasi yang tidak menarik bagi para investor.
4.    Kesadaran sebagian besar masyarakat akan lingkungan yang masih sangat rendah.
5.    Masih adanya wisatawan yang merasa kondisi keamanan yang kurang kondusif.
6.    Munculnya fandalis- fandalis yang dapat merusak situs.
7.    Adanya persaingan yang ketat antar daerah dalam menarik jumlah wisatawan.


Selasa, 14 Oktober 2014

Makalah Kebudayaan Aceh



Anwar Thosibo


Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia




KEBUDAYAAN ACEH





DISUSUN :


KELOMPOK 10


SYAHRIL RAMADHAN/ F61114504


RIMA SUHARTINA/ F61114505


MUKHLIS TRI PUSYAKA/ F61114503






JURUSAN ARKEOLOGI


FAKULTAS SASTRA


UNIVERSITAS HASANUDDIN


MAKASSAR


2014


KATA PENGANTAR


            Puji syukur kami panjatan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya  jugalah sehingga Makalah Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia yang berjudul Kebudayaan Aceh ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Salam dan salawat kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW yang mengajarkan kita segala sesuatu yang tidak kita ketahui sebelumnya, serta sahabat-sahabat yang tetap konsisten dijalan-Nya.


Kami menyadari bahwa kamian Makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rendah diri kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada kakak senior  yang telah meluangkan waktunya memberi dorongan dan bimbingan kepada kami sampai selesainya makalah ini. Begitu juga dengan teman-teman yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga semua yang kita lakukan bernilai ibadah disisi-Nya Amin.


Makalah ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan, karena kurangnya pengetahuan, referensi dan waktu yang tersedia. Oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.


Akhir kata kami ucapkan: Nun Waqalami Wamaa Yasthuruun.






                                                                                Makassar,             Oktober 2014








                                                                                                    Penulis            










DAFTAR ISI


     Kata Pengantar...............................................................................................             i


     Daftar Isi........................................................................................................             ii


     BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................             1


A.  Latar Belakang...................................................................................             1


B.  Rumusan Masalah..............................................................................             2


C.  Tujuan Penulisan ...............................................................................             2


D.  Manfaat Penulisan .............................................................................             3


     BAB II PEMBAHASAN..............................................................................             4


A.    Sejarah Politik Adu Domba ..............................................................             4


B.     Strategi Politik Adu Domba di Sulawesi Selatan & Barat ................             5


C.    Dampak Politik Adu Domba di Sulawesi Selatan & Barat ...............             6


     BAB III Penutup...........................................................................................             13


A.  Kesimpulan.........................................................................................             13


B.  Saran...................................................................................................             13


     Daftar Pustaka................................................................................................             14










BAB I


PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang


Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje.


Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.


Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.


1.2  Tujuan Pembuatan Makalah


Di dalam penulisan makalah ini ada beberapa tujuan yang kami jabarkan, diantaranya adalah:


  1. Sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia.
  2. Dari hasil diatas kami ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang Aceh dan budayanya.
  3. Untuk membantu para mahasiswa memahami kebudayaan Aceh.


1.3  Metode Pengumpulan Data


Dalam mengumpulkan data, kami menggunakan metode pengambilan data secara sekunder, yaitu pengambilan data secara tidak langsung melalui informasi yang sudah ada seperti internet.




























BAB II


PEMBAHASAN


A.   Identifikasi Geografi


          Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Di tengah-tengahnya terdapat pengunungan Bukit Barisan yang dikelilingi oleh hutan hujan yang padat dan puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 in), Bumi Telong (2.566 m), Ucop Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m), Seulawah Agam (1.782 m) dan Seulawah Inong (866 m).


Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 km2, yang terdiri atas kawasan hutan lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 km2 dan ekosistem Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut. Adapun batas batas nya yaitu : Sebelah utara dengan Laut Andaman, sebelah timur dengan Selat Melaka, sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara, sebelah barat dengan Samudra Hindia. Daerah Melingkupi : 119 Pulau, 35 Gunung, 73 Sungai, terdiri dari 21 Kabupaten, 228 Kecamatan, 642 Mukim, 111 Kelurahan, dan 5947 Gampong atau Desa.


Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling parah dilanda gempa bumi 26 Desember 2004.


B.   Bahasa


Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan.


Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia. Selain Bahasa Aceh ada juga Bahasa yang lain seperti Bahasa Gayo, Bahasa Alas, Bahasa Tamiang, Bahasa Aneuk Jamee, Bahasa Kluet, Bahasa Singkil, Bahasa Haloban, dan Bahasa Simeulue.




C.   Sistem Religi


Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.




D.   Sistem Mata Pencaharian


Setiap orang yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung hidupnya. Dalam suku Aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak sedikit juga yang berdagang.


Mata pencaharian pokok suku aceh adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di jual.


Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.




E.   Organisasi Sosial


1.      Sistem Kekerabatan


Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.


Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak  ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah tangga. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.


Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).


Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).


Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.


2.      Sistem Pelapisan Sosial


Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan Keluarga Sultan, Golongan Uleebalang, Golongan Ulama, dan Golongan Rakyat Biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.


Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan kedua adalah orang­orang yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.




3.      Sistem Kemasyarakatan 


Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).




F.   Sistem Perkawinan


Pengantin laki-laki (Linto baro) maupun pengantin perempuan (Dara Baro), keduanya sama-sama menggunakan baju, celana panjang dan sarung songket. Bahan dasar pakaian pengantin ini dahulu ditenun dengan benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak yang terbuat dari kain katun, nilon, planel dan sebagainya. Bagi pengantin laki-laki baju dan celana berwarna hitam, sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning dengan celana panjang hitam.






1) Keureusang,


Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.


2) Patam Dhoe,


Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Patam Dhoeterbuat dari perak sepuh emas.


Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.


3) Simplah


Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.


4) Peuniti


Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.


5) Subang Aceh


Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.


6) Taloe Jeuem


Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.




G.   Sistem Pengetahuan


Suku Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat. Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, yaitu tentang tradisi bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu (gambar terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.




H.  Sistem Tekhnologi dan Peralatan Hidup


1.      Persenjataan


Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.




I.  Kesenian


1.      Seni Lukis : Kaligrafi Arab


Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.


2.      Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan


Seni pahat yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan pada rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh yang dikuburkan.


3.      Seni Musik : Rapai Geleng


Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang bertindak


4.      Seni Tari : Tari Saman


Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.






BAB III


PENUTUP




A.   KESIMPULAN       


Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama salah satu suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang mendiami Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam. Di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam sekarang terdapat 20 daerah tingkat II yang didiami oleh delapan kelompok etnis, yaitu etnis Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Simeulue, dan Singkil. Semua etnis ini adalah penduduk asli yang dalam istilah Belanda disebut inlander (penduduk pribumi) Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, tarian, musik dan adat istiadat.


Etnis Aceh dibagi ke dalam empat kawom (kaum) atau sukee (suku). Pembagian ini mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Alaaidin Al-Kahar (1530-1552). Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi budayanya. Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan Umara dan golongan Ulama. Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah kaidah hukum agama Islam.
Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut "Gampong" (Kampung). Sistem sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya.




B.   KRITIK DAN SARAN                  


Kita sebagai mahluk hidup bermasyarakat perlu memahami arti kebudayaan, karena apabila kita memahami arti kebudayaan, maka kita akan mudah untuk megembangkan budaya yang ada di daerah kita. Bersama, kita membangun masa depan yang lebih baik bagi Aceh dan wilayah Indonesia lainnya.


Budaya lokal yang beraneka ragam merupakan warisan budaya yang wajib dilestarikan. Ketika bangsa lain yang hanya sedikit mempunyai warisan budaya lokal berusaha keras untuk melestarikannya demi sebuah identitas, maka sungguh naïf jika kita yang memiliki banyak warisan budaya lokal lantas mengabaikan pelestariannya demi menggapai burung terbang sementara punai di tangan dilepaskan.